Rabu, 02 Maret 2011

Human Rights


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan. HAM Berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM modern tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan kalau di Indonesia tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
Hak Asasi Manusia (HAM) meliputi:
* Hak untuk hidup.
* Hak untuk memperoleh pendidikan.
* Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
* Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
* Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Namun dalam tulisan ini akan difokuskan kepada Respon Positif Pemikir Muslim Atas DUHAM Dan Tinjauan Historis-Kultural HAM.
Jika kita ingat kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialism belum terlewatkan lebih dari dua generasi(sekitar 50tahun), maka prasangka yang keras terhadap barat, yang ikut mengaburkan hal-hal yang sebenarnya tidak murni barat semata seperti ide tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dapat sedikit banyak kita pahami. Persoalannya mungkin bukanlah bagaimana menghilangkan kenangan pahit dan negative kepada baratakibat pengalaman kolonilaisme dan imperialism, tetapi bagaimana menyadarkan diri yang bersangkutan sendiri tentang HAM itu dengan menggali dan mengembangkan berbagai konsep yang secara potensial ada dalam system-sistem budaya yang berbeda-beda. Harapannya ialah, karena akhirnya manusia dan kemanusiaan itu pada hakikatnya sama dan satu, maka konsep-konsep kemanusiaan yang ada dalam berbagai system budaya tentu memiliki titik kesamaan antara satu denga yang lainnya.
Berikut ilustrasi bagaimana sebagian para pemikir muslim bisa menerima penuh DUHAM. Riffat Hassan, mpemikir feminis dari Pakistan misalnya menegaskan, bahwa “…meskipun dalam kenyataannya tidak diakui secara universal, tidak dijalankan secara universal, atau tidak didesakan pemberlakuaanya secara universal, HAM tetaplah amat penting. Meskipun banyak orang tidak memahami atau mendesakannya, hak-hak itu tetap merupakan hak-hak yang setiap manusia harus memilikinya. Hak-hak itu berakar sangat kuat dalam kemanusiaan kita, sehinnga setiap penolakan atau pelanggaran atasnya merupakan penegasian atau pendegradasian atas apa yang membuat kita menjadi manusia.”
Jika hal tersebut diatas itu dapat diterima, maka logikanya ialah bahwa manusia dan kemanusiaan adalah universal. Nilai-nilai dalam satu atau lain bentuk pasti ada dalam setiap bangsa di setiap zaman. Jabaran-jabaran mutahir atau modern tentang manusia dan kemanusiaan dapat dipandang sebagian tidak lebih daripada kelanjutan logika ide-ide dasar tesebut dalam konteks kehidupan kontemporer yang semakin kompleks dan bersifat global.
Penerimaan dan kesadaran tentang HAM haruslah otentik dan sejati. Sebab nilai-nilai serupa itu dapat dihayati hanya jika dikaitkan dengan kesadaran hidup bermakna. HAM akan dapat menumbuhkan komitmen dalam jiwa para pendukungnya jika ia merupakan bagian dari hakikat kediriannya sebagai manusia. Karena itu perlu pendekatan sosialbudaya dan sejarah.
Istihal HAM (Human Rights) melai banyak digunakan hanya seusai perang dunia II. Istilah itu menjadi umum olwh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia PBB yang dikeluarkan pada 1948. Sebagai istilah, HAM menggantikan “hak-hak alami” (natural rights), sebuah konsep yang sangat lama, dan ungkapan “hak-hak manusia(lelaki)” (rights of man), yang tidak harus mencakup hak-hak perempuan.
Para sarjana barat yang cenderung melihat konsep HAM itu sebagai khas barat menelusuri pertumbuhan awalnya pada konsep “hak-hak alami” dalam pemikiran Yunani dan Romawi kuno. Dalam sastra dan filsafat Yunani dan Romawi banyak terdapat pernyataan yang mengakui adanya “hukum-hukum dewa dan hukum-hukum alam” (laws of The Gods and of nature), yang hukum-hukum itu dipandang terwujud sebelum adanya hukum-hukum yang dibuat oleh negara.
Perkembangan modern konsep HAM mulai tumbuh pada akhir abad pertengahan Eropa yang disebut renaisance, saat perlawanan kepada tirani ekonomi dan politik mulai muncul ke permukaan. Dan pikiran tentang HAM sebagai makhluk dengan harkat dan martabat yang tinggi merupakan hasil interaksi peradaban eropa (barat) dengan peradaban yunani dan Islam. Pikiran itu kemudian dikembangkan dalam dinamika lingkungan peradaban barat.
Tetapi jika konsep HAM sudah lama sekali ada, namun pengakuan umum kepada keabsahannya adalah baru. Sepanjang sejarah hampir semua umat manusia, pemerintahan biasanya menolak untuk mengakui bahwa rakyat memiliki hak-hak yang tidak tergantung kepada negara, justru kebanyakan pemerintah beranggapan bahwa pihaknyalah yang memberi dan menjamin hak-hak itu. Paham keunggulan negara atau “etatisme” menganggap adanya kekuasaan negara atas pri-kehidupan warga negara. Pada abad ke-20 etatism masih merupakan konsep yang kuat. Contoh-contoh utama ialah Jerman dibawah Hitler dan Uni Sofiet dibawah Stalin dengan contoh-contoh lain yang saat ini masih bertahan.
Hubungan antara pemerintahan dengan HAM mengalami perubahan menyeluruh setelah revolusi Amerika dan Prancis. Para tokoh kedua revolusi itu menegaskan bahwa tujuan pemerintahan ialah untuk melindungi dan membela HAM, bukan untuk membuyarkan atau menyalahgunakannya. James Madison bahkan mengatakan bahwa “sebagai mana orang dikatakan punya hak asasi atas hak milik-(property)-nya, ia juga dapat dikatakan punya hak milik atas hak asasinya.”
Selanjutnya, “pemerintah dilembagakan untuk melindungi hak milik dalam segala bentuknya.” Deklarasi HAM dan warga negara prancis (1789) menyebutkan, “manusia dilahirkan bebas dan tetap bebas dan sama dalam hak-hak asasinya” ;dan, “tujuan setiap perserikatan politik ialah untuk menjaga HAM yang alami dan tak dapat diubah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar